Selamat Datang Peserta Lomba Unjuk SMP Kabupaten Siak 2014, Buktikan bahwa kamu bisa berbuat lebih baik dari yang diharapkan !!!!
 Langkah Memperkuat Nasionalisme Indonesia  ( sumber Ayu pasaman )
           
             Langkah-Langkah Strategis dalam Upaya Menumbuhkan Kembali Semangat Nasionalisme pada Bangsa Indonesia
Memudarnya semangat nasionalisme pada masyarakat Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi akan menimbulkan dampak yang sangat besar dan tidak mustahil dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia sendiri. Untuk mencegah hal tersebut, maka harus segera diupayakan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya, antara lain sebagai berikut:
A.    Menggagas Kembali Makna Nasionalisme
Nasionalisme sebagai konsep pemersatu bangsa sebenarnya bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, nasionalisme sudah menjadi pembicaraan penting pada sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Terbentuknya organisasi “Boedi Oetomo” pada tahun 1908, yang merupakan tonggak awal lahirnya gerakan kebangkitan nasional, atau diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh segenap putera-puteri bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928, adalah beberapa bukti konkrit. Rasa nasionalisme dan cinta tanah air (patriotisme) yang tertanam dalam diri bangsa Indonesia pada saat itu telah terbukti sangat efektif dalam mempersatukan segenap komponen bangsa untuk berjuang meraih tujuan bersama, yaitu terwujudnya negara Indonesia yang merdeka dan lepas dari penjajahan bangsa asing. Perjuangan tersebut telah berhasil mencapai puncaknya pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun saat ini rasa nasionalisme bangsa Indonesia tersebut sudah semakin jauh menurun bila dibandingkan dengan masa perjuangan kemerdekaan dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya tingkat konflik, baik konflik horizontal maupun vertikal, yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Keadaan tersebut telah menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan pada bangsa Indonesia. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama. Akibatnya semangat membela negara pada diri warga masyarakat telah ikut memudar.
Apabila dicermati, penyebab keadaan ini sebenarnya adalah karena egoisme dan fanatisme kelompok dalam masyarakat. Perbedaan pendapat yang merupakan essensi demokrasi akhirnya telah menjadi potensi konflik karena salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya. Dalam keadaan ini, sebenarnya cara terbaik untuk mengatasi perbedaan pendapat  adalah musyawarah untuk mufakat. Namun cara yang merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia ini tampaknya tidak sesuai lagi di era globalisasi. Parahnya, cara pengambilan suara terbanyak pun seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak yang “kalah” sehingga mereka akhirnya memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.
Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius dari segenap komponen bangsa, mengingat instabilitas internal dalam masyarakat kita seringkali mengundang campur tangan pihak asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Kita harus segera bangkit dari keterpurukan bangsa ini, dan sudah saatnya energi konflik dalam tubuh masyarakat ditransformasikan menjadi energi solidaritas. Kini bangsa Indonesia mendambakan hadirnya para negarawan yang dapat bertindak sebagai pencipta solidaritas (solidarity maker) yang dengan kearifan dan kebijaksanaan mampu menghimpun kebersamaan dan kekuatan bangsa. Saatnya kearifan dan kebijaksanaan membimbing bangsa ini.
Kembali ke permasalahan utama yaitu memudarnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia di era globalisasi dan dampaknya terhadap integritas bangsa. Salah satu faktor penyebab keadaan ini adalah karena pemahaman masyarakat yang masih bias dan tidak utuh akan makna nasionalisme, disamping faktor-faktor lainnya, baik faktor politis, ekonomis maupun psikologis seperti masalah:
1.    Pembangunan ekonomi yang tidak merata;
2.    Kebijakan dalam bidang pendidikan yang tidak terarah;
3.    Kurangnya penghayatan masyarakat atas arti sejarah perjuangan bangsa;
4.    Persaingan yang tidak sehat antar kelompok-kelompok politik, dsb.
Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah bahwa pemahaman masyarakat atas makna nasionalisme sudah cenderung dikotomis. Di satu sisi, nasionalisme dimaknai dengan sangat luas (trans-nasionalisme) yang menganggap bangsa Indonesia hanya merupakan bagian dari masyarakat global sehingga harus mengikuti kaedah-kaedah global tersebut. Pemahaman seperti ini tidak lagi mengakui adanya konsep negara bangsa (nation-state), melainkan berpandangan bahwa seluruh masyarakat dunia adalah satu komunitas bersama. Di sisi lain, timbul pemahaman atas makna nasionalisme yang sangat sempit, yang memaknai nasionalisme sebagai ikatan-ikatan primordial (etno-nasionalisme) sebagai unsur pembentuk identitas kebangsaan.
Apabila dicermati secara jernih, kedua pemahaman ini sebenarnya bersifat sejalan dan saling melengkapi (komplementer) sehingga tidak perlu dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan. Oleh sebab itu, di era globalisasi ini kita perlu melakukan redefinisi atas makna nasionalisme. Redefinisi tersebut harus bersifat holistik dan komprehensif, karena kita tidak akan mungkin dapat memilih hanya salah satu dari kedua pemahaman tersebut dimana konsekuensinya bisa sangat merugikan bagi bangsa Indonesia sendiri. Apabila kita hanyut dalam pemahaman yang pertama (trans-nasionalisme), akan mengakibatkan lunturnya rasa nasionalisme dan patriotisme. Sebaliknya jika larut dalam pemahaman yang kedua (etno-nasionalisme), akan menyebabkan tumbuhnya rasa nasionalisme yang picik (ICMI, 2004).
Bertolak dari pemikiran ini, maka kini dapat dimunculkan sebuah paradigma baru atas makna nasionalisme yang kiranya relevan dengan era globalisasi sekarang ini. Di era globalisasi, semangat nasionalisme harus dapat diartikan sebagai kemampuan segenap komponen bangsa Indonesia untuk bersikap kritis terhadap globalisasi. Sikap kritis tersebut tidak berarti menolak globalisasi secara keseluruhan tetapi harus diiringi dengan berbagai agenda untuk membangun keunggulan kompetitif bangsa (LP3ES, 2003). Sikap latah yang menerima globalisasi secara salah dan “berkiblat” kepada pihak asing harus ditinggalkan. Kata kunci untuk dapat mengaplikasikan nasionalisme seperti ini adalah profesionalisme.
Dengan demikian, nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme agar mampu memicu spirit kebangsaan dan menjadi kompas atau cermin yang merefleksikan arah dan dinamika bangsa dalam rangka menempatkan posisi serta meraih setiap peluang yang dimunculkan globalisasi guna terciptanya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Yang tidak kalah pentingnya diingat bahwa wujud nasionalisme tersebut tidak hanya sebatas perkataan atau simbol-simbol yang bersifat formal, tetapi harus dibuktikan dalam perilaku nyata (konkrit).
B.    Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan
Agenda utama bangsa Indonesia pasca kolonialisme adalah mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diraih tersebut dengan pembangunan guna mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Kemerdekaan bukanlah tujuan utama bagi bangsa Indonesia, melainkan hanya sebagai “jembatan emas” untuk menciptakan keadaan yang lebih baik, yaitu masyarakat yang hidup sejahtera, baik materil maupun spiritual. Hakekat kemerdekaan adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi segenap komponen bangsa.
Oleh sebab itu, dalam rangka mengisi kemerdekaan tersebut rasa nasionalisme dalam diri setiap warga bangsa harus senantiasa eksis sehingga mampu memberikan warna dalam setiap tahapan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme tersebut harus tetap diaktualisasikan guna menopang setiap tahapan pembangunan yang dilaksanakan bersama, yang diwujudkan dengan cara ikut serta berpartisipasi dalam mengisi pembangunan sesuai dengan peran masing-masing dalam masyarakat. Dengan demikian rasa nasionalisme akan mampu memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat seutuhnya.
Namun setelah hampir 63 tahun merdeka dan melaksanakan pembangunan, harus diakui bahwa tujuan, bahkan harapan, untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang hidup sejahtera belum sepenuhnya tercapai. Faktor penyebab keadaan ini adalah karena pembangunan yang dilaksanakan, baik kebijakan maupun strateginya, tidak tepat arah dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri, sehingga tidak mampu memberikan hasil yang merata dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Pembangunan yang tidak merata tersebut pada akhirnya telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi di dalam masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil pembangunan tersebut akan merasa tidak diperhatikan oleh negara, bahkan sangat mungkin mereka tidak lagi merasa menjadi bagian dari negara Indonesia. Ironisnya, keadaan ini justru semakin diperparah oleh perilaku kalangan elite politik dan elite kekuasaan yang terlibat dalam praktik-praktik negatif kekuasaan seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), buruknya kinerja para birokrat, elite politik maupun aparat hukum, yang berakibat semakin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial dalam masyarakat.
Untuk dapat keluar dari permasalahan ini, maka harus segera dilakukan reorientasi dalam kebijakan pembangunan, yang diikuti dengan perubahan sikap mental setiap aktor pelaksana pembangunan itu sendiri. Langkah tersebut perlu dilakukan karena kemiskinan (dan keterbelakangan) sebagai dampak dari pembangunan yang tidak merata tersebut, terkadang lebih menyakitkan daripada penjajahan. Oleh sebab itu harus diusahakan agar pembangunan yang kita laksanakan mampu memberikan hasil dan manfaat yang merata bagi seluruh warga masyarakat, dan penerapannya harus bertumpu pada penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Pembangunan yang kita laksanakan tersebut jangan sampai mengorbankan masyarakat Indonesia sendiri.
Selain itu, bangsa Indonesia juga harus cerdik dalam mengelola setiap peluang yang timbul dari globalisasi. Kita harus sadar bahwa era globalisasi telah mengantarkan dunia ke arah persaingan antar bangsa dan negara dimana dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya dan peradaban. Konsekuensinya, tinggi rendahnya harkat, derajat dan martabat suatu bangsa akan diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya dan peradaban bangsa tersebut (Dadang Iskandar, 2007). Dalam keadaan ini semangat nasionalisme diharapkan mampu mengawal dinamika dan pembangunan dalam segala bidang kehidupan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sendiri.
C.    Pendidikan yang Mencerdaskan Bangsa
Kualitas SDM bangsa Indonesia yang masih sangat rendah sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari realita bahwa kebijakan pendidikan yang kita laksanakan selama ini telah jatuh ke dalam corak pendidikan yang pragmatis dan tidak sesuai lagi dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa yang terbelakang di era globalisasi ini, sehingga tidak akan pernah mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Oleh karena itu sekarang ini sangat diperlukan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya konkrit untuk dapat meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia tersebut.
Salah satu langkah strategis tersebut adalah melalui pengembangan suatu paradigma pendidikan yang dapat menimbulkan “suasana berbagi” (the spirit of sharing) di sekolah antara guru dan murid (Mochtar Buchori, 2006). Dengan sikap seperti ini, kegiatan mengajar akan menjadi kegiatan berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan (sharing of knowladge and ignorance) dan bukan semata-mata sebagai kegiatan mentransfer ilmu. Pendidikan harus dapat dijadikan sebagai sebuah upaya membangun identitas bangsa dan sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri. Dalam kondisi ini pendidikan akan berfungsi mencerdaskan anak bangsa sehingga mampu menghasilkan manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia, yang pandai dan mampu mengelola segala potensi yang dimiliki bangsa ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hanya dengan pendidikan masyarakat dapat tercerahkan dan terbebaskan dari keterbelakangan (kebodohan). Kebangkitan kita sebagai sebuah bangsa bukan dilaksanakan melalui politik kekerasan atau kekuatan massa, tetapi melalui pendidikan. Kita harus menyadari bahwa ukuran kebangkitan nasional di era globalisasi ini adalah menjadi bangsa yang modern dan syarat untuk menjadi bangsa modern adalah melalui penguasaan iptek. Akhirnya kata kunci untuk mengakhiri keterpurukan bangsa ini adalah melalui pendidikan, yang diharapkan mampu menghasilkan pribadi yang unggul dan partisipatoris dalam kehidupan masyarakat.
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar